Situational Crisis Communication Theory dan Klaster Krisis

Nayika Kumara 185120207111014 

Manajemen Isu dan Krisis B.KOM.5 


Teori Situational Crisis Communication dan Klaster Krisis 


A. Apa yg dimaksud publik adalah prioritas dan reputasi menyusul? 


Teori Situational Crisis Communication dapat menjelaskan mengapa publik adalah prioritas dan reputasi dapat menyusul di akhir. Publik dijelaskan sebagai entitas yang dapat memiliki atribusi tertentu baik kepada krisis maupun pada organisasi. Seperti dijelaskan pada definisi krisis, atribusi publik adalah yang menjadi faktor utama krisis itu terjadi. Kegiatan dan langkah yang dilakukan oleh organisasi akan mempengaruhi persepsi publik. Persepsi ini yang nantinya akan digunakan publik untuk melakukan evaluasi. Sehingga menurut Coombs (2007), melihat dari segi etika sebagai organisasi. Jika krisis terjadi maka secara etika, organisasi harus melihat bagaimana keadaan korban baik secara fisik maupun mental dan organisasi secara sigap dan cepat melindungi korban dan membantu mengurangi kerugian yang dialami korban. Coombs (2010) menjelaskan bahwa komunikasi adalah inti dari manajemen krisis sehingga segala hal yang berhubungan dengan praktisi Public Relation harus mengedepankan komunikasi dalam setiap aktivitasnya. Baik dari tahap perencanaan hingga eksekusi dan evaluasi. Saat krisis terjadi, langkah pertama yang dilakukan oleh praktisi adalah membuka komunikasi kepada publik. Memprioritaskan publik selain langsung memberikan pertolongan dan tanggung jawab secara fisik namun juga memberikan informasi yang cukup kepada publik. 

Expectation gap sebagai penyebab dari krisis dapat dikurangi dengan cara memberikan informasi yang cukup pada publik. Memprioritaskan korban merupakan salah satu bentuk komunikasi untuk meningkatkan hubungan antara organisasi dan publik. Langkah ini adalah bentuk langkah preventif agar publik tidak melakukan konfrontasi kepada organisasi. Hubungan yang baik dengan publik akan membuat krisis menjadi lebih mudah untuk dikontrol. Jika suatu krisis terjadi dan publik, khususnya korban melihat organisasi melakukan aktivitas lain dan bukan membantu korban, maka publik secara umum tentu akan mengekspresikan ketidakpuasannya. (Kriyantono, Riani, & Safitri, 2017) Sebagai organisasi yang dipersepsi bertanggung jawab atas suatu krisis, maka publik akan memiliki ekspektasi terhadap langkah organisasi khususnya bantuan yang akan diberikan oleh organisasi. Jika organisasi tidak memberikan bantuan akan ada kesenjangan antara harapan publik dengan aktivitas dari organisasi. Hal ini akan memperkeruh keadaan karena kembali pada definisi dan penyebab krisis yaitu adanya expectation gap antara publik dan organisasi. 



B. Apa keterkaitan krisis dan reputasi? 

The Issue Management Council, isu dan krisis terjadi jika terdapat kesenjangan dalam harapan publik terhadap realita yang diberikan organisasi. Harapan publik bisa berupa kebijakan, operasional produk atau segala hal yang berhubungan dengan aktivitas dan kegiatan organisasi. Isu sendiri hadir karena adanya kesenjangan dari harapan publik dan realitas organisasi, sehingga untuk merespon adanya isu dan krisis, organisasi dapat memperbaiki persepsi yang sudah ada di masyarakat melalui respon yang cepat dan memiliki fokus utama dalam membantu publik khususnya publik yang terdampak secara negatif. Respon dari organisasi yang tepat dan dapat memenuhi harapan publik akan memunculkan evaluasi dari publik yang positif. Evaluasi positif dari publik yang nantinya akan menghasilkan reputasi organisasi yang positif pula. Pada saat krisis terjadi, organisasi berada pada pengawasan ketat media. Publik juga aktif mencari informasi terkait organisasi dan perkembangan krisis. 

Organisasi dalam memberikan respon terkait krisis tentu memerlukan bantuan media, khususnya media massa. Respon yang diberikan harus sesuai dengan harapan publik dan dapat menjawab kebutuhan informasi publik. Proses evaluasi dari publik berdasarkan pada informasi yang ada khususnya berita pada media massa. Bila kebutuhan informasi tidak sesuai dengan harapan publik, Coombs (2007) menjelaskan organisasi gagal dalam memenuhi harapan publik yang artinya gagal dalam manajemen krisis. Reputasi yang bersifat intangible didapatkan dari hasil evaluasi publik terhadap apa yang telah dilakukan organisasi baik dalam bentuk bantuan fisik, psikologis maupun informasi. Menurut SCCT, yang memiliki 3 variabel, reputasi terbentuk berdasarkan ketiga variabel tersebut. Krisis yang terjadi saat ini akan dikaitkan dengan ketiga variabel yaitu penanggung jawab krisis pertama (initial crisis responsibility), sejarah krisis (crisis history), dan reputasi organisasi sebelumnya (prior relational reputation). Berdasarkan ketiga variabel tersebut, publik akan mengevaluasi organisasi dan menilai reputasi organisasi tersebut. Variabel saling berkaitan dan akan membentuk klaster krisis yang terbagi lagi menjadi tiga. Seperti klaster korban yang reputasi masih cenderung baik, tergantung dari bagaimana organisasi memberikan respon. Berbeda dengan organisasi yang masuk pada klaster kecelakaan dan kesengajaan memiliki reputasi yang cenderung rendah dan harus memberikan respon yang lebih akomodatif. 




C. Apa keterkaitan reputasi dan legitimasi? 

Sebelum mencapai reputasi yang positif, organisasi harus memiliki legitimasi terlebih dahulu. Legitimasi organisasi terdiri dari aspek yaitu kompetensi organisasi dan karakter organisasi Kompetensi organisasi adalah hal-hal yang berhubungan dengan operasional perusahaan, seperti kualitas serta harga produk dan jasa. Nilai-nilai dari produk dan jasa yang dihargai oleh masyarakat seperti kualitas pada produk, nilai sosial yang ada pada produk maupun jasa. Salah satu contoh riil terkait kompetensi organisasi yang konsisten membawa nilai pada produknya adalah The Body Shop. Merk ini memproduksi kosmetik dengan label cruelty free atau tidak melakukan uji coba kepada hewan yang biasa dilakukan oleh merk kosmetik lainnya. Selain itu The Body Shop juga selalu menjunjung tinggi nilai ramah lingkungan pada produknya yang tercermin dari kemasan hingga programnya. Program unggulan dari The Body Shop adalah mengembalikan kemasan yang sudah habis, sehingga kemasan plastik tersebut bisa di daur ulang. The Body Shop dapat disebut memiliki kompetensi yang baik tercermin dari produknya. Aspek kedua adalah karakter organisasi, aspek ini berhubungan dengan hubungan organisasi dengan lingkungan sosialnya. Untuk mencapai aspek kedua, biasanya organisasi menggunakan CSR maupun event sosial lainnya yang mencerminkan kepedulian organisasi. Sehingga untuk mendapatkan reputasi yang baik, organisasi tidak hanya berfokus pada kualitas produk dan segi ekonomi namun juga pada segi sosial. Hal ini juga berhubungan dengan kehadiran krisis yang bisa hadir dari berbagai aspek, yaitu bukan hanya produk namun aspek sosial, lingkungan, politik dan budaya. Kembali pada The Body Shop, selain dari segi produk, The Body Shop aktif melakukan kampanye pada media sosial terkait kekerasan seksual. Mayoritas Konsumen The Body Shop adalah perempuan, sehingga The Body Shop melakukan kampanye untuk mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kampanye ini sesuai dengan konsumen The Body Shop yang mayoritas perempuan, secara umum korban dari kekerasan seksual adalah perempuan. Bila kedua aspek ini sudah dapat terpenuhi oleh organisasi, dibuktikan oleh persetujuan lingkungan ataupun komunitas sekitar terhadap organisasi. Maka organisasi disebut sudah mendapatkan legitimasi. 


D. Jelaskan apa saja variabel-variabel Teori SCC dan Klaster krisis? 

Teori Situational Crisis Communication memiliki tiga variabel yaitu penanggung jawab krisis pertama (initial crisis responsibility), sejarah krisis (crisis history), dan reputasi organisasi sebelumnya (prior relational reputation). Variabel penanggung jawab krisis pertama adalah variabel yang mengukur tingkat atribusi publik mengenai organisasi sebagai penanggung jawab dalam suatu krisis. Variabel ini menjelaskan bagaimana publik mencari aktor utama dalam penyebab terjadinya suatu krisis. Variabel kedua adalah sejarah kasus krisis yang sama pada suatu organisasi. Jika organisasi memiliki riwayat krisis yang sama dengan yang terjadi pada masa kini, maka reputasi organisasi akan semakin rendah. Jika variabel kedua berhubungan dengan kasus krisis, variabel ketiga atau reputasi organisasi sebelumnya berhubungan dengan perilaku organisasi terhadap publik. Jika organisasi memberikan perilaku yang baik seperti kepedulian yang tinggi pada lingkungan sekitar, maka variabel prior relational reputation akan baik, begitu juga sebaliknya. Ditarik dari ketiga variabel diatas, terbentuk pengelompokan klaster krisis menjadi tiga yaitu klaster korban, klaster kecelakaan dan klaster kesengajaan. Pengelompokan ini berhubungan dengan variabel pertama, yaitu initial crisis responsibility. Pada klaster korban yaitu organisasi juga ikut menjadi korban dalam suatu krisis, atribusi bahwa organisasi sebagai aktor penyebab dan harus bertanggung jawab terhadap krisis cenderung rendah. Untuk klaster kecelakaan, atribusi masyarakat terhadap organisasi sebagai pihak yang bertanggung jawab meningkat dibanding klaster sebelumnya, namun masih dalam tahap sedang. Terakhir yaitu pada klaster kesengajaan yaitu krisis yang terjadi adalah murni kesalahan dari organisasi dan masyarakat beranggapan bahwa krisis maupun bencana tersebut bisa dicegah. Sehingga atribusi masyarakat pada organisasi sebagai aktor yang bertanggung jawab pada krisis tinggi, dan reputasi organisasi berada dalam ancaman. 

Ketiga variabel pada SCCT adalah faktor penentu klaster krisis. Selain variabel penanggung jawab (initial crisis responsibility), publik juga akan menilai organisasi melalui dua variabel lainnya. Organisasi yang pernah mengalami krisis yang sama dinilai konsisten dalam ketidakmampuannya menghadapi suatu masalah. Sehingga variabel sejarah krisis juga disebut sebagai variabel konsistensi. Variabel konsistensi yang tinggi mengindikasikan reputasi organisasi yang rendah. Pada variabel prior relational responsibility, atau disebut sebagai variabel distinctiveness (keunikan) yang tinggi apabila organisasi memperlakukan publik dengan baik secara konsisten. Variabel keunikan tinggi sebanding dengan reputasi organisasi yang tinggi pula. 


E. Jelaskan beberapa strategi respons mengatasi krisis? 

Kriyantono (2014) menjabarkan ada dua tipe prioritas yang bersumber dari Coombs (2007b); Coombs & Halladay (2002); dan Claeys, dkk. (2010). Strategi respon pertama yaitu tipe prioritas primer. Pada Strategi respon primer, respon yang dilakukan berdasarkan klaster krisis dan tipe krisis itu sendiri. Pertama pada strategi respon untuk klaster korban. Klaster korban dapat berupa bencana alam, rumor, dan hal yang ada pada situasi kerja seperti kekerasan, kerusakan produk oleh pihak luar dan sabotase. Untuk ketiga krisis yang berbeda, strategi yang disarankan berbeda pula. Respon yang tepat menurut Coomb saat terjadi bencana alam adalah strategi menyerang pihak yang menuduh bahwa organisasi bersalah. Respon memiliki tujuan untuk melepaskan keterkaitan antar organisasi dan bencana yang terjadi, baik menyangkal, mengkritik hingga mengkonfrontasi. Sedangkan untuk krisis berupa rumor, strategi yang disarankan adalah denial atau menyangkal juga. Namun bukan menghilangkan hubungan dengan krisis seperti strategi pada bencana alam, tapi lebih meluruskan informasi kepada publik bahwa rumor tersebut tidak benar. Terakhir pada klaster korban untuk kasus yang berhubungan dengan operasional dan tempat kerja. Respon pada tipe krisis ini memiliki tujuan untuk menyalahkan pihak di luar organisasi atau disebut sebagai strategi scapegoat. Jika dilihat terdapat persamaan respon antara tipe krisis yang berada pada klaster korban, yaitu menyangkal segala tuduhan yang diberikan pada organisasi. Untuk klaster kedua yaitu klaster ketidaksengajaan, yang memiliki tipe krisis seperti tuduhan dan masalah operasional karena kesalahan teknis. Strategi umum yang dapat digunakan adalah diminish strategy yaitu strategi yang menjelaskan pada publik bahwa efek dari krisis tidak buruk dan bisa dihadapi dengan organisasi dengan baik. Tipe krisis tuduhan menggunakan excuse strategy yaitu menyangkal tuduhan serta mengaku bahwa krisis yang terjadi diluar kapasitas dari pihak organisasi. Tipe krisis selanjutnya yang masih berada di bawah klaster kecelakaan adalah kejadian yang berhubungan dengan proses operasional. Respon yang dapat diberikan adalah mengurangi persepsi publik tentang akibat buruk atau kerusakan yang terjadi akibat kejadian tersebut. 


Klaster kesengajaan yang tipe krisisnya berhubungan dengan human error. Strategi yang tepat untuk memberikan respon pada klaster ini adalah rebuild atau membangun kembali citra perusahaan. Sebagian besar sebab dari krisis klaster kesengajaan adalah human error dan organisasi tidak memiliki pilihan lain selain bertanggung jawab atas kelalaiannya. Strategi yang membedakan dengan strategi klaster sebelumnya adalah pada klaster kesengajaan respon yang diberikan berupa kompensasi. Respon tersebut berupa membayar ganti rugi, membantu korban secara fisik dengan aksi nyata serta meminta maaf kepada publik atas hal yang telah terjadi. Strategi diatas termasuk pada dua jenis strategi yaitu compensation dan apology strategy. Untuk strategi primer lainnya yang secara umum bisa diaplikasikan saat ada krisis adalah mempersiapkan informasi dengan baik dan menyediakan saluran komunikasi dua arah, guna melakukan framing baik kepada media maupun kepada publik. Saluran komunikasi dua arah selain termasuk dalam strategi framing namun juga dapat dijelaskan dengan Teori Excellence yaitu salah satu model komunikasi two-way symmetric. Model ini adalah model ideal dari praktik PR, selain dapat mengurangi kemungkinan krisis, model ini juga dapat menjadi alat dalam strategi respon primer. 


Selanjutnya adalah strategi respon sekunder yaitu strategi respon untuk berbagai jenis tipe krisis dan juga berperan sebagai strategi komplementer respon primer. Inti dari strategi respon sekunder adalah menggarisbawahi hubungan antara organisasi dengan publik dan media. Kegiatan yang mendukung strategi ini adalah publikasi terkait prestasi yang telah dicapai organisasi pada masa terdahulu atau masa sebelum krisis. Selain itu pesan yang bisa disampaikan untuk menjaga hubungan baik dengan publik adalah mengapresiasi publik yang sudah setia mendukung organisasi walau dalam masa krisis. Terakhir, organisasi juga bisa mengingatkan lagi bahwa organisasi juga merupakan korban dari krisis yang terjadi. Langkah-langkah diatas memiliki tujuan untuk mengambil dan meningkatkan simpati publik pada organisasi. 


F. Jelaskan Aplikasi SCC dalam praktik dan penelitian?

Penulis mengambil salah satu penelitian yang dilakukan oleh Kriyantono dkk. (2017) yaitu Public’s Attribution vs Punitive Behavior in Indonesian Public Relations Practice. Penelitian ini menggunakan Teori Situational Crisis Communication dengan menggabungkan konsep Teori Atribusi. Pengelompokan pada responden yang digunakan pada penelitian ini mengambil referensi dari penelitian Jeong tahun 2009. Penelitian Jeong membagi jenis atribusi publik menjadi dua variabel yaitu atribusi eksternal dan atribusi internal. Berdasarkan konsep dari teori atribusi, atribusi eksternal adalah publik melihat pihak luar organisasi sebagai sebab dari bencana yang terjadi. Sedangkan atribusi internal terjadi saat publik mempersepsi organisasi sebagai sebab utama dari bencana yang terjadi. Klaster atribusi dikaitkan dengan pengaruh dari berita pada media massa pada atribusi publik. Selanjutnya atribusi publik akan dihubungkan dengan perilaku menghukum publik terhadap organisasi yang dianggap bertanggung jawab. Peran teori Situational Crisis Communication pada penelitian ini adalah pembahasan mengenai atribusi publik. Salah satu variabel dari teori SCC adalah prior initial responsibility, variabel ini dikaitkan oleh peneliti bukan hanya pada atribusi publik namun juga pada perilaku menghukum. Peran variabel SCCT pada penelitian ini juga dapat dilihat dari pengelompokan jenis berita yaitu high distinctive dan low distinctive. High distinctive adalah jenis informasi yang memiliki tone positif. Variabel prior relational reputation menjelaskan persepsi publik terhadap organisasi tidak hanya diukur saat krisis terjadi namun juga dari perilaku organisasi sehari-hari. Perilaku pada publik berarti perilaku pada media. Organisasi yang memperlakukan media dengan baik akan meningkatkan hubungan baik dengan media. Dalam hal ini hubungan baik antar media dengan organisasi akan meningkatkan kemungkinan pemberitaan dengan nada positif dari media tersebut. Namun jika organisasi mendapatkan banyak berita dengan nada negatif maka organisasi tersebut tidak memiliki hubungan yang baik dengan media atau variabel distinctive yang rendah. Berikut adalah penjelasan mengenai penelitian: 


Perumusan  masalah: 

“Bagaimana Pengaruh jenis informasi terhadap perilaku menghukum publik pada organisasi yang dianggap bertanggung jawab?”


Metode Penelitian: 

Menggunakan tipe berita sesuai dengan penelitian Jeong (2009) yaitu high distinctive dan low distinctive. Pada berita high distinctiveness, informasi yang ada bersifat positif. Informasi yang memiliki high distinctiveness berhubungan dengan riwayat dari kegiatan sosial yang dilakukan oleh organisasi seperti program CSR ataupun kegiatan positif dan pencapaian organisasi. Jenis berita yang kedua disebut sebagai low distinctive. Informasi yang ada pada jenis berita ini mengandung riwayat kegiatan organisasi yang kurang baik seperti krisis serupa terdahulu. Informasi ini diasosiasikan sebagai informasi yang negatif. Berdasarkan pembagian jenis berita ini, peneliti membagi responden menjadi tiga kelompok yang berisi 30 responden pada tiap kelompoknya. Kelompok pertama adalah kelompok yang mendapatkan jenis informasi positif mengenai organisasi atau high distinctive. Kelompok kedua dengan berita low distinctive yang memiliki tone berita negatif. Sedangkan yang ketiga adalah control group merupakan kelompok yang tidak diberikan informasi sama sekali mengenai kejadian Lapindo selama kurun waktu yang telah ditentukan. Sumber berita yang digunakan pada penelitian ini adalah surat kabar. Faktor peneliti dalam memilih surat kabar sebagai alat penelitian terbagi menjadi beberapa latar belakang. Pertama karena mayoritas publik mencari dan menerima berita surat kabar. Faktor kedua, bila dibandingkan dengan televisi, publik akan melihat berita dari segi siapa yang menjadi sumber berita tersebut. Sedangkan jika pada surat kabar, pembaca akan lebih fokus pada isi berita dari surat kabar. 

Atribusi publik dijabarkan melalui variabel persepsi publik pada organisasi yang pada kuesioner dibagi menjadi empat poin yaitu poin a. Erupsi lumpur akibat kesalahan pengeboran dari Lapindo, b. Lapindo merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kejadian erupsi lumpur, c.) erupsi merupakan bencana alam, dan d.) pemerintah yang menjadi penanggung jawab dalam erupsi lumpur  Variabel perilaku menghukum pada penelitian ini dijabarkan sebagai persepsi publik dalam menghukum pihak yang dianggap bertanggung jawab. Untuk menjelaskan variabel ini, peneliti menggunakan pertanyaan pada kuesioner yaitu “apa hukuman yang tepat untuk diberikan kepada aktor yang bertanggung jawab atas kejadian ini? 


Responden: 

Peneliti memilih responden yang merupakan aware public, yaitu kelompok yang sadar akan permasalahan dan mampu mengidentifikasi permasalahan tersebut. (Kriyantono, 2014) Tambahan dari penjelasan penulis jurnal bahwa aware public atau publik teridentifikasi aktif dalam mencari informasi mengenai isu. Publik yang menjadi responden pada penelitian ini bukan korban yang terdampak secara langsung yaitu masyarakat yang tinggal di luar zona bencana 1 dan 2. Responden yang setuju untuk ikut serta dalam penelitian sejumlah 90 warga. Warga dibagi menjadi tiga kelompok, tiap kelompok berisi 30 orang. Responden didominasi oleh pekerja swasta (60%) laki-laki (58%) yang berusia 21 - 30 tahun (56%).  


Pengukuran:

Peneliti menguji validitas pada instrumen penelitian menggunakan penilaian Pearson dengan total keseluruhan 0.102-0.921. Lalu uji reliabilitas dengan Alpha Cronbach dengan total nilai 0.720. Dalam menjawab rumusan masalah, One - Way Analysis of Variance (ANOVA) dan Pearson.


Hasil Penelitian: 

Penelitian menemukan bahwa pemberitaan tidak memberikan efek yang signifikan pada atribusi publik. Dilihat dari sebanyak 73% dari kelompok negative menyebutkan bahwa organisasi yang dianggap bertanggung jawab harus diberikan sanksi yang tegas dan sebanyak 30% dari control group menyebutkan bahwa organisasi diberikan hukuman yang sedang. Data ini menjelaskan bahwa sebagian besar responden memilih untuk memberikan hukuman yang tegas dan berat pada organisasi yang dianggap sebagai yang bertanggung jawab pada bencana ini. Serta berita yang bernada positif pun tidak memberikan efek yang signifikan pada persepsi publik khususnya atribusi eksternal. Krisis dianggap sebagai kejadian yang disengaja oleh organisasi, atau pada klaster krisis Lapindo termasuk pada klaster kesengajaan. Publik mempersepsi lapindo sebagai penyebab utama dari bencana ini. Bencana disebabkan dari adanya kesalahan pada internal organisasi serta kesalahan teknis yang seharusnya bisa dicegah dengan manajemen operasional yang baik. Maka dari itu organisasi harus memberikan bantuan yang nyata dan jelas. Seperti penjelasan krisis yaitu adanya kesenjangan antara harapan publik dan organisasi, pada awal krisis terjadi Lapindo tidak memberikan informasi yang jelas terkait bantuan kepada korban lumpur. Publik khususnya publik terdampak, secara aktif mencari informasi tidak hanya mengenai sebab krisis namun juga mengenai bantuan, kompensasi serta solusi yang diharapkan datang dari organisasi yang dianggap sebagai penyebab krisis. Namun penelitian ini menemukan bahwa publik tidak mendapatkan informasi yang cukup dan alur komunikasi yang cenderung tertutup. Publik merasa sulit berkomunikasi dengan pihak organisasi. Penelitian ini menjelaskan bahwa pada saat krisis lumpur Lapindo terjadi, organisasi terlalu berfokus pada reputas sehingga seakan tidak memberikan akomodasi pada publik terdampak. Pada SCCT hal ini tidak sesuai dengan pernyataan dari Coombs yaitu publik harus diperlakukan sebagai prioritas dan reputasi menyusul. Publik yang mendapatkan informasi dan akomodasi yang sesuai dengan harapannya akan memberikan evaluasi yang baik pada organisasi. Evaluasi yang baik akan secara otomatis menghasilkan reputasi yang tinggi. 




Daftar Pustaka:


Kriyantono, R. (2014). Teori-teori Public Relations Perspektif Barat dan Lokal : Aplikasi Penelitian dan Praktik. Jakarta : Prenada Media Group

Kriyantono, R. (2015). Public Relations, Issue, & Crisis Management : Pendekatan Critical Public Relations, Etnografi Kritis & Kualitatif. Jakarta : Prenadamedia Group

Kriyantono, R., & McKenna, B. (2019). Crisis Response vs Crisis Cluster: A Test of Situational Crisis Communication Theory on Two Crisis Clusters in Indonesian Public Relations. Jurnal Komunikasi: Malaysian Journal of Communication Jilid 35(1) 2019: 222-236

 Kriyantono, R., Riani, Y.A., & Safitri, R.I. (2017). Public’s Attribution vs Punitive Behavior in Indonesian Public Relations Practice. Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 14, No. 1, 43-60.


 Note:

Dikarenakan dokumen word tidak bisa dilampirkan dalam blog maka berikut adalah link untuk tugas dalam versi word. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya [File] SCCT dan Klaster Krisis - Nayika Kumara

 





Komentar

Postingan Populer