Ibu

Memulai tahun baru 2021 dengan harapan tahun ini bisa jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. Kita semua tau tahun 2020 adalah tahun yang secara umum adalah tahun yang buruk bagi semua orang. Rencana yang gagal, rumah tangga yang memburuk, hubungan yang merenggang, dan segala kehilangannya.. Tentu 2021 membawa harapan baik untuk kita semua, berharap dapat menata hidup pada masa normal baru, dan mulai terbiasa dengan keadaan pandemi. 

Harapan seperti itu tentu aku tanamkan di tahun ini. Namun nyatanya tahun 2021ku dimulai dengan kurang baik. Menghabiskan tahun baru di Kota Malang untuk keperluan akademik lalu aku pulang membawa beban dan kegelisahan. Kepalaku begitu berat, berisi dengan pertimbangan-pertimbangan aneh. Bahkan jika aku melihat kembali apa yang aku pikirkan pada bulan Januri tersebut, aku pun tidak tahu. Bulan Januari, benar aku merasa tertekan selama sebulan penuh. Sampai pada akhirnya, bulan Februari aku sakit. Cukup parah sampai aku kesulitan untuk berjalan dan bangun dari tempat tidur. Setelah hampir seminggu tidak bisa melakukan kegiatan apapun akhirnya aku sehat. Rasanya bagaikan mendapat energi baru. Seperti siap bertempur kembali. Namun bukannya bertempur untuk hal-hal yang menghasilkan, aku malah bertempur melawan fakta bahwa aku terkena COVID-19. Begitu juga dengan keluargaku. 

Khawatir dengan keadaan papa yang memiliki sakit paru, kami sekeluarga, tidak termasuk kakak. masuk rumah sakit untuk diisolasi. Ibuku sehat, dan selalu semangat sedikit kecewa karena harus diisolasi di rumah sakit. Tapi bagus, karena ia diberikan waktu untuk rehat sejenak. Situasi yang menghalanginya untuk memikirkan semua hal. Berpikir bahwa kami akan keluar dari sini, mungkin hanya dalam hitungan hari, tidak sampai minggu. Pikiran itu hadir karena situasi Ibu dan aku yang sehat. Segala gejala yang disebutkan, tidak terlihat. Ralat, hanya beberapa. Ibu dan aku demam, semalam sebelum kami diisolasi di rumah sakit. Pada saat kami di rumah sakit, penciuman kami hilang beberapa saat. Namun setelah itu gejala berangsung-angsur menghilang.

Sayangnya, hal itu terjadi hanya kepadaku. Pada hari keempat isolasi, saturasi oksigen ibuku menurun. Tidak terlalu drastis memang namun cukup mengkhawatirkan. Tiap hari perawat dan dokter memantau, saturasi oksigen ibuku tidak berangsur-angsur membaik. Seminggu, dua minggu, tiga minggu, perawat dan dokter sudah memberikan penanganan terbaik untuk Ibu. Keadaannya yang sempat memburuk, kini berangsur-angsur membaik. Pada minggu ketiga aku berpikir, pasti bisa pulang minggu ini. Oiya sebenarnya aku sudah bisa pulang pada minggu kedua, namun karena ibuku yang harus bed rest, dan perlu banyak bantuan, aku diizinkan untuk menemani Ibu selama di rumah sakit. Kembali pada harapan minggu ketiga, keinginan untuk pulang semakin tinggi karena di akhir minggu adalah hari raya Nyepi. 

Keadaan ibu membaik, dokter pun, katanya, optimis. Ibu pasti bisa pulang. Namun pada suatu pagi, saturasi oksigen ibu menurun, walau sudah dengan alat oksigen terbaik. Hal yang aku pikirkan saat itu hanyalah "ya kembali lagi ke salah satu hari yang buruk, besok pasti membaik lagi". Bukannya meremehkan, namun selama 3 minggu di rumah sakit, keadaan ibu memang naik turun tiap harinya. Namun semakin malam saturasi oksigen Ibu semakin buruk. Akhirnya pada hampir tengah malam itu pihak rumah sakit mengutus perawat untuk menjaga Ibuku secara intensif. Dari tengah malam hingga subuh, saturasi oksigen ibu fluktuatif, dan membuatku berpikir kalau saat pagi datang nanti Ibu pasti akan segera membaik. Namun salah, saat aku tertidur sejenak, saturasi oksigen Ibu menurun sampai ke angka yang cukup mengejutkan. Perawat yang sabar, tekun untuk membantu menaikkan saturasi Ibu. Akhirnya aku duduk di ranjang Ibu, sambil memegang tangannya. Bercerita sambil menyemangati Ibu kalau dia pasti bisa melewati ini. Ibu adalah wanita yang kuat sekali, badai apapun dia terjang jika dia tau itu adalah jalan yang benar. Keyakinanku  masih tinggi, ini hanyalah salah satu badai yang ia hadapi, tentunya tidak sendiri, aku, anak perempuannya ada disebelahnya. Seluruh anggota keluarga besar pun menyemangi Ibu dari jauh. Sambil memegang tangan Ibu, perawat pun memberikan Ibu minum. Saat Ibu menenggak air tersebut seketika ia terdiam, matanya tidak bergerak. Sekujur tubuhnya kaku. Terus aku berusaha memanggil Ibu, sambil melihat monitor yang memperlihatkan denyut nadi Ibu. Masih ada harapan. 

Perawat yang sedang berjaga pun menelpon dokter agar segera datang. Langkah-langkah terakhir pun sudah dilakukan dokter, namun Ibu sudah tidak bisa kembali lagi. Semua terjadi jelas di depan mataku. Akhirnya aku pulang, benar sebelum Nyepi, namun tidak bersama Ibu. Ibu pulang ke pangkuanNya. Menangis seharian, lalu esok aku tidak bisa menangis lagi. Begitu banyak hal-hal yang harus dilakukan. Beberapa orang bertanya apa kamu tidak sedih? Bagaimana perasaanmu? Aku bingung. Rasanya Ibu masih ada, rasanya seperti menunggu Ibu pulang dari tugasnya di luar kota. Besok aku menjemput Ibu di airport sambil menunggu oleh-oleh yang aku titip. Namun ada beberapa yang aku syukuri dari kepergian Ibu. Ini akan terdengar egois. Betapa bahagianya aku bisa menemani Ibu selama sebulan penuh, walau lelah, tapi senang rasanya bisa menjadi penyemangat Ibu. Mengetahui bahwa pihak rumah sakit sudah memberikan yang terbaik untuk Ibu adalah hal yang lebih dari cukup. Semoga kepergian ini tidak meninggalkan penyesalan untuk orang banyak. 

Keyakinan yang paling kuat adalah kepercayaanku bahwa Ibu adalah orang yang baik. Ia memiliki niat dan doa terindah yang tertatanam di dirinya untuk semua orang di sekelilingnya. Ia akan terlahir di kehidupan yang lebih baik lagi, aku yakin. Aku pun harus bisa menjadi sebaik dan setulus dirinya, untuk bisa lahir di kehidupan yang sama dengan Ibu lagi. Seperti surat yang kutulis pada Hari Ibu 2020, "...jika ada kehidupan selanjutnya, aku ingin kembali lahir menjadi anak Ibu" 


Komentar

Postingan Populer